Haris Notes

Kumpulan Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Terlengkap.

Anda Kesulitan dalam Mengerjakan Tugas Asuhan Keperawatan ?

Kami Siap Membantu Anda 24 Jam Non Stop.

Pro Evolution Soccer 6

Oops, Disini Juga Menyediakan Update Transfer Untuk PES 6 Lho !

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Pages

Minggu, 22 Juli 2012

ASKEP SECTIO CAESARIA (SC)


ASUHAN KEPERAWATAN
Seksio Sesaria


A. Pengertian Sectio Caesaria (Seksio Sesaria)
Ada beberapa pengertian mengenai sectio caesaria :
Sectio caesaria adalah suatu cara melahirkan janin dengan sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut. (Rustam Mochtar, 1992).
Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Sarwono, 1991).
Jadi operasi Seksio Sesaria ( sectio caesarea ) adalah suatu pembedahan guna melahirkan janin ( persalinan buatan ), melalui insisi pada dinding abdomen dan uterus bagian depan sehingga janin dilahirkan melalui perut dan dinding perut dan dinding rahim agar anak lahir dengan keadaan utuh dan sehat.

B. Indikasi Sectio Caesaria
Operasi sectio caesarea dilakukan jika kelahiran pervaginal mungkin akan menyebabkan resiko pada ibu ataupun pada janin, dengan pertimbangan hal-hal yang perlu tindakan SC proses persalinan normal lama/ kegagalan proses persalinan normal ( Dystasia )

1. Indikasi sectio caesaria pada Ibu
Disproporsi cevalo-pelvik ( ketidakseimbangan antar ukuran kepala dan panggul )
Disfungsi uterus
Distosia jaringan lunak
Plasenta previa
His lemah / melemah
Rupture uteri mengancam
Primi muda atau tua
Partus dengan komplikasi
Problema plasenta

2. Indikasi Sectio Caesaria Pada Anak
Janin besar
Gawat janin
Janin dalam posisi sungsang atau melintang
Fetal distress
Kalainan letak
Hydrocephalus

3. Kontra Indikasi Sectio Caesaria :
Pada umumnya sectio caesarian tidak dilakukan pada janin mati, syok, anemi berat  sebelum diatasi, kelainan kongenital berat (Sarwono, 1991)

C. Jenis – Jenis Operasi Sectio Caesarea
1. Abdomen (sectio caesarea abdominalis)
a. Sectio caesarea transperitonealis
SC klasik atau corporal (dengan insisi memanjang pada corpus uteri)
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira 10 cm.
Kelebihan :
  • Mengeluarkan janin dengan cepat
  • Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik
  • Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal
Kekurangan
  • Infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena tidak ada reperitonealis yang baik
  • Untuk persalinan yang berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri spontan
  • SC ismika atau profundal (low servical dengan insisi pada segmen bawah rahim)
b. SC ektra peritonealis yaitu tanpa membuka peritoneum parietalis dengan demikian tidak membuka cavum abdominal
Dilakukan dengan melakukan sayatan melintang konkat pada segmen bawah rahim (low servical transversal) kira-kira 10 cm
Kelebihan :
  • Penjahitan luka lebih mudah
  • Penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik
  • Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan penyebaran isi uterus ke rongga peritoneum
  • Perdarahan tidak begitu banyak
  • Kemungkinan rupture uteri spontan berkurang atau lebih kecil
Kekurangan :
  • Luka dapat melebar kekiri, kanan, dan bawah sehingga dapat menyebabkan uteri  pecah sehingga mengakibatkan perdarahan banyak
  • Keluhan pada kandung kemih post operasi tinggi
2. Vagina (section caesarea vaginalis)
Menurut sayatan pada rahim, sectio caesarea dapat dilakukan sebagai berikut (Mochtar, Rustam, 1992) :
1. Sayatan memanjang ( longitudinal )
2. Sayatan melintang ( Transversal )
3. Sayatan huruf T ( T insicion )

D. Prognosis Operasi Sectio Caesarea
Pada Ibu
Dulu angka morbiditas dan mortalitas untuk ibu dan janin tinggi. Pada masa sekarang oleh karena kemajuan yang pesat dalam tehnik operasi, anestesi, penyediaan cairan dan darah, indikasi dan antibiotika angka ini sangat menurun.
Angka kematian ibu pada rumah-rumah sakit dengan fasilitas operasi yang baik dan oleh tenaga – tenaga yang cekatan adalah kurang dari 2 per 1000.
Pada anak
Seperti halnya dengan ibunya, nasib anak yang dilahirkan dengan sectio caesaria banyak tergantung dari keadaan yang menjadi alasan untuk melakukan sectio caesaria. Menurut statistik di negara – negara dengan pengawasan antenatal dan intra natal yang baik, kematian perinatal pasca sectio caesaria berkisar antara 4 hingga 7 %. (Sarwono, 1999).

E. Komplikasi Operasi Sectio Caesarea
Kemungkinan yang timbul setelah dilakukan operasi ini antara lain :
1. Infeksi puerperal ( Nifas )
- Ringan, dengan suhu meningkat dalam beberapa hari
- Sedang, suhu meningkat lebih tinggi disertai dengan dehidrasi dan perut sedikit kembung
- Berat, peritonealis, sepsis dan usus paralitik
2. Perdarahan
- Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka
- Perdarahan pada plasenta bed
3. Luka kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila peritonealisasi terlalu tinggi
4. Kemungkinan rupture tinggi spontan pada kehamilan berikutnya

F. Pemeriksaan Diagnostik
Pemantauan janin terhadap kesehatan janin
Pemantauan EKG
JDL dengan diferensial
Elektrolit
Hemoglobin/Hematokrit
Golongan darah
Urinalisis
Amniosentesis terhadap maturitas paru janin sesuai indikasi
Pemeriksaan sinar x sesuai indikasi.
Ultrasound sesuai pesanan
(Tucker, Susan Martin, 1998)

G. Asuhan Keperawatan Sektio Caesaria
1. Devisit Volume Cairan b.d Perdarahan
Tujuan: Tidak terjadi devisit volume cairan, seimbang antara intake dan
output baik jumlah maupun kualitas.
Intervensi:
a.Kaji kondisi status hemodinamika.
R/ Pengeluaran cairan akibat operasi yang berlebih merupakan faktor utama masalah.
b.Ukur pengeluaran harian.
R/ Jumlah cairan ditentukan dari jumlah kebutuhan harian ditambah dengan jumlah cairan yang hilang selama masa post operasi dan harian.
c.Berikan sejumlah cairan pengganti harian.
R/ Tranfusi mungkin diperlukan pada kondisi perdarahan masif.
d.Evaluasi status hemodinamika.
R/ Penilaian dapat dilakukan secara harian melalui pemeriksaan fisik.

2. Gangguan Aktivitas b.d kelemahan, penurunan sirkulasi
Tujuan: Kllien dapat melakukan aktivitas tanpa adanya komplikasi
Intervensi:
a.Kaji tingkat kemampuan klien untuk beraktivitas.
R/ Mungkin klien tidak mengalami perubahan berarti, tetapi perdarahan masif perlu diwaspadai untuk menccegah kondisi klien lebih buruk.
b.Kaji pengaruh aktivitas terhadap kondisi luka dan kondisi tubuh umum.
R/ Aktivitas merangsang peningkatan vaskularisasi dan pulsasi organ reproduksi, tetapi dapat mempengaruhi kondisi luka post operasi dan berkurangnya energi.
c.Bantu klien untuk memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-hari.
R/ Mengistiratkan klien secara optimal.
d.Bantu klien untuk melakukan tindakan sesuai dengan kemampuan/kondisi klien.
R/ Mengoptimalkan kondisi klien, pada abortus imminens, istirahat mutlak sangat diperlukan.
e.Evaluasi perkembangan kemampuan klien melakukan aktivitas.
R/ Menilai kondisi umum klien.

3. Gangguan rasa nyaman : Nyeri b.d luka post operasi
Tujuan: Klien dapat beradaptasi dengan nyeri yang dialami.
Intervensi:
a.Kaji kondisi nyeri yang dialami klien.
R/ Pengukuran nilai ambang nyeri dapat dilakukan dengan skala
maupun dsekripsi.
b.Terangkan nyeri yang diderita klien dan penyebabnya.
R/ Meningkatkan koping klien dalam melakukan guidance mengatasi nyeri.
c.Ajarkan teknik distraksi.
R/ Pengurangan persepsi nyeri.
d.Kolaborasi pemberian analgetika.
R/ Mengurangi onset terjadinya nyeri dapat dilakukan dengan pemberian analgetika oral maupun sistemik dalam spectrum luas/spesifik.

4. Resiko tinggi Infeksi b.d perdarahan, luka post operasi.
Tujuan: Tidak terjadi infeksi selama perawatan perdarahan dan luka
operasi.
Intervensi:
a.Kaji kondisi keluaran/dischart yang keluar ; jumlah, warna, dan bau dari luka operasi.
R/ Perubahan yang terjadi pada dischart dikaji setiap saat dischart keluar. Adanya warna yang lebih gelap disertai bau tidak enak mungkin merupakan tanda infeksi.
b.Terangkan pada klien pentingnya perawatan luka selama masa post operasi.
R/ Infeksi dapat timbul akibat kurangnya kebersihan luka.
c.Lakukan pemeriksaan biakan pada dischart.
R/ Berbagai kuman dapat teridentifikasi melalui dischart.
d.Lakukan perawatan luka.
R/ Inkubasi kuman pada area luka dapat menyebabkan infeksi.
e.Terangkan pada klien cara mengidentifikasi tanda inveksi.
R/ Berbagai manivestasi klinik dapat menjadi tanda nonspesifik infeksi; demam dan peningkatan rasa nyeri mungkin merupakan gejala infeksi.

Daftar Pustaka
Allen, Carol Vestal, (1998) Memahami Proses Keperawatan, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.
Betz Cecily L, Sowden Linda A. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC.
Carpenito L. J, 2001, Diagnosa keperawatan, Jakarta : EGC
Doengoes, M E, 2000, Rencana Askep pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien, Jakarta : EGC
Hamilton, Persis Mary,(1995) Dasar-Dasar Keperawatan Maternitas, Edisi 6, EGC. Jakarta.
Ibrahim S. Cristina,(1993) Perawatan Kebidanan, Bratara Jakarta.
Manuaba, Ida Bagus Gde, (1998), Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana, EGC. Jakarta.
Martius, Gerhard, (1997), Bedah Kebidanan Martius, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Muchtar, Rustam,(1998), Sinopsis Obstetri, Edisi 2, Jilid 1, EGC. Jakarta.
Ngastiyah.( 1997 ). Perawatan Anak Sakit Jakarta : EGC
Prawirohardjo, S. 2000. Buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan
neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sacharin Rosa M. (1996). Prinsip Keperawatan Pediatrik. Alih bahasa : Maulanny R.F. Jakarta : EGC.
Sarwono Prawiroharjo,(1999)., Ilmu Kebidanan, Edisi 2 Cetakan II Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta.
Tucker, Susan Martin, (1998), Standar Perawatan Pasien, Edisi 5, Volume 4, Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta.
Winkjosastro, Hanifa, 2005, Ilmu Kebidanan, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka

Sumber: hanifsakala.blogspot.com

ASKEP SINDROM STEVEN JOHNSON


Asuhan Keperawatan
Sindrom Steven Johnson

A. Pengertian
• Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).
• Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit, kelainan dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982: 480).
• Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).

B. Etiologi
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab adalah:
1. Alergi obat secara sistemik
a. penisilin, analgetik, arti piuretik
b. Penisilline dan semisentetiknya
c. Sthreptomicine
d. Sulfonamida
e. Tetrasiklin
f. Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol, metampiron dan paracetamol)
g. Kloepromazin
h. Karbamazepin
i. Kirin Antipirin
j. Tegretol
2. Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)
3. Neoplasma dan faktor endokrin
4. Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)

C. Manefestasi klinis
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:
1. Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.
2. Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).
3. Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dalam terbentuk pseudomembran. Dibibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal.
4. Kelainan dimukosa dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan esofagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.
5. Kelainan mata
konjungitivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan bola mata), konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.
6. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan onikolisis.
7. Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.

D. Komplikasi
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang didapati sejumlah 16 % diantara seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi.

E. Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi:
tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) .
1. Reaksi Hipersensitif tipe III.
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72).
2. Reaksi Hipersensitif Tipe IV
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.

F. Pemeriksaan diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium:
Tidak ada pemeriksaan labor (selain biopsi) yang dapat membantu dokter dalam menegakkan diagnosa.
2. Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang normal atau leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar sel darah putih dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bakterial berat.
3. Determine renal function and evaluate urine for blood.
4. Pemeriksaan elektrolit
5. Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai terjadi.
6. Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat dilakukan
7. Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis
8. Pemeriksaan histopatologi dan imonohistokimia dapat mendukung ditegakkannya diagnosa.

G. Penatalaksanaan Medis
1. Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena
dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 6×5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).
2. Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.Infus dan tranfusi darah.
3. Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas.
4. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik.
5. Topikal :
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.

H. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas pasien
• Nama;
• Jenis kelamin
• Umur
• Status perkawinan
• Pekerjaan
• Agama
• Pendidikan terakhir
• Alamat.
b. Riwayat Kesehatan lalu
c. Riwayat kesehatan sekarang
d. Riwayat kesehatan keluarga
e. Riwayat pengobatan
f. Data sosial ekonomi
g. Aktifitas sehari-hari
h. Pemeriksaan Fisik
• Keadaan umum
• Tanda-tanda Vital : suhu tubuh, tekanan darah, nadi, pernafasan.

2. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
a. Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal
KH: menunjukkan kulit dan jaringan kulit yang utuh
Intervensi:
• Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan
lainnya yang terjadi.
Rasional: menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat
dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat
• Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut
Rasional: menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari baju, membiarkan insisi terbuka terhadap udara meningkat proses penyembuhan dan
menurunkan resiko infeksi
• Jaga kebersihan alat tenun
Rasional: untuk mencegah infeksi
• Kolaborasi dengan tim medis
Rasional: untuk mencegah infeksi lebih lanjut

b. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan
KH: menunjukkan berat badan stabil/peningkatan berat badan
Intervensi:
• Kaji kebiasaan makanan yang disukai/tidak disukai
Rasional: memberikan pasien/orang terdekat rasa kontrol, meningkatkan partisipasi dalam perawatan dan dapat memperbaiki pemasukan
• Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering
Rasional: membantu mencegah distensi gaster/ketidaknyamanan
• Hidangkan makanan dalam keadaan hangat
Rasional: meningkatkan nafsu makan
• Kerjasama dengan ahli gizi
Rasional: kalori protein dan vitamin untuk memenuhi peningkatan kebutuhan metabolik, mempertahankan berat badan dan mendorong regenerasi jaringan.

c. Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit
KH:
• Melaporkan nyeri berkurang
• Menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh rileks
Intervensi:
• Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi dan intensitasnya
Rasional: nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan
• Berikan tindakan kenyamanan dasar ex: pijatan pada area yang sakit
Rasional: meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot dan kelelahan umum
• Pantau TTV
Rasional: metode IV sering digunakan pada awal untuk memaksimalkan efek
obat
• Berikan analgetik sesuai indikasi
Rasional: menghilangkan rasa nyeri

d. Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik
KH: klien melaporkan peningkatan toleransi aktivitas
Intervensi:
• Kaji respon individu terhadap aktivitas
Rasional: mengetahui tingkat kemampuan individu dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari.
• Bantu klien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan tingkat keterbatasan yang dimiliki klien
Rasional: energi yang dikeluarkan lebih optimal
• Jelaskan pentingnya pembatasan energy
Rasional: energi penting untuk membantu proses metabolisme tubuh
• Libatkan keluarga dalam pemenuhan aktivitas klien
Rasional: klien mendapat dukungan psikologi dari keluarga

e. Gangguan persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis
KH :
• Kooperatif dalam tindakan
• Menyadari hilangnya pengelihatan secara permanen
Intervensi:
• Kaji dan catat ketajaman pengelihatan
Rasional: Menetukan kemampuan visual
• Kaji deskripsi fungsional apa yang dapat dilihat/tidak.
Rasional: Memberikan keakuratan terhadap penglihatan dan perawatan.
• Sesuaikan lingkungan dengan kemampuan pengelihatan:
Rasional: Meningkatkan self care dan mengurangi ketergantungan.
• Orientasikan terhadap lingkungan.
Rasional: Mengenal keadaan lingkungan.
• Kaji jumlah dan tipe rangsangan yang dapat diterima klien.
Rasional: Meningkatkan rangsangan pada waktu kemampuan penglihatan menurun.
DAFTAR PUSTAKA
• Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
• Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
• Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
• Price dan Wilson. 1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2. Jakarta: EGC.
• Tim Penyusun. 1982. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
• Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta: Media Aesculapius.
• Kamus kedokteran Dorland_EGC,
• Kamus kedokteran _penerbitdjambatan,
• Ilmu penyakit kulit kelamin_FK UI, saripati penyakit kulit_EGC


Kamis, 19 Juli 2012

ASKEP PARTUS NORMAL


Asuhan Keperawatan
Persalinan Normal


1.        Definisi
Persalinan normal adalah pervaginam tanpa bantuan apapun tidak kurang dari 18 jam, tanpa adanya gangguan jalannya persalinan.
Tanda- tanda persalinan normal:
1. Timbulnya his persalinan ialah his pembukaan dengan sifatnya sebagai berikut :
-          Nyeri melingkar dari punggung memancar ke perut bagian depan.
-          Teratur
-          Makin lama makin pendek intervalnya dan makin kuat intensitasnya.
-          Kalau di bawa berjalan bertambah kuat.
-          Mempunyai pengaruh pada pendataran dan atau pembukaan cervix.
           2.      Keluarnya lendir berdarah dari jalan lahir (show).
-          Dengan pendataran dan pebukaan, lendir dari canalis cervikalis keluar disertai dngan sedikit darah.
-          Perdarahan yang sedikit ini disebabkan karena lepasnya selaput ajnin pada bagian bawah segmen bawah rahim hingga beberapa kapilair terputus.
    3. Keluarnya cairan banyak dengan sekonyong-konyong dari jalan lahir.
        Hal ini terjadi kalau ketuban pecah atau selaput janin robek. Ketuban itu biasanya pecah, kalau pembukaan lengkap atau hampir lengkap dan dalam hal ini keluarnya cairan merupakan tanda yang lambat sekali.
       Tetapi kadang-kadang ketuban itu pecah pada pembukaan kecil, malahan kadang-kadang selaput janin robek sebelum persalinan.
       Walaupun selaput robek sebelum persalinan, kita boleh mengharapkan bahwa persalinan akan mulai dalam 24 jam setelah air ketuban keluar.
Ketuban dinyatakan pecah dini bila terjadi sebelum proses persalinan berlangsung. Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan nmembran atau meningkatnya tekanan intra uteri atau oleh kedua faktor tersebut. Berkurangnya kekuatan membrane disebabkan adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina serviks.
                                                                                  (Sarwono Prawiro, 2002)
Ketuban pecah dini merupakan pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan dan ditunggu satu jam sebelum dimulainya tanda persalina, waktu sejak pecah ketuban sampai terjadi kontrasi rahim disebut kejadian ketuban pecah dini (periode laten ).
                                                                     (Ida Bagus Manuaba EGC, 1998)
Ketuban pecah dini merupakan masalah penting dalam obstetric terkaitan dengan penyulit kelahiran premature dan terjadinya infeksi khorioamnionitis sampai sepsis yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinata, dan menyebabkan infeksi ibu.
 (Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, 2001)
Ketuban pecah dini atau sponkaneous/early/premature rupture of the membrane (PROM) adalah pecahnya ketuban sebelum partus yaitu bila pembukaan pada premi dari 3 cm dan pada multipara kurang dari 5 cm.
 (Rustam Mochtar, 1998)

2. Etiologi
Penyebab ketuban pecah dini mempunyai dimensi multifaktorial yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
-              Serviks inkompeten.
-              Ketegangan rahim berlebihan: kehamilan ganda, hidramnion.
-              Kelainan letak janin dalam rahim: letak sungsang, letak lintang.
-              Kemungkinan kesempitan panggul: bagian terendah belum masuk PAP.
-              Infeksi yang menyebabkan terjadinya proses biomekanik pada selaput ketuban dalam bentuk proleolitik sel sehingga memudahkan ketuban pecah.
-               
3. Patofisiologi
a.       Terjadi penbukaan premature serviks.
b.      Membrane terkait dengan pembukaan terjadi: selaput ketuban tidak kuat sebagai akibat kurangnya jaringan ikat dan vaskularisasi.
c.       Bila terjadi pembukaan serviks maka selaput ketuban sangat lemah dan mudah pecah dengan mengeluarkan air ketuban.
d.      Melemahnya daya tahan ketuban dipercepat dengan infeksi yang mengeluarkan enzim: enzim proteolitik dan enzim kolagenase.

4. Manifestasi klinis
a.       Keluar air ketuban warna putih keruh, jernih, kuning, hijau atau kecoklatan sedikit-sedikit atau skaligus banyak.
b.      Dapat disertai demam bila sudah ada infeksi.
c.       Janin mudah diraba.
d.      Pada pemeriksaan dalam, selaput dalam sudah tidak ada air ketuban, sudah kering.
e.       Inspekulo: tampak air ketuban mengalir atau selaput ketuban tidak ada dan air ketuban sudah kering.
                                               
5. Komplikasi ketuban pecah dini
a.       Infeksi intrapartum (korioamnionitis)
b.      Persalinan preterm, jika terjadi pada usia kehamilan preterm
c.       Prolaps tali pusat
d.      Oligohidamnion

6. Pemeriksaan diagnostic
1.      Ultrasonografi
ultrasonografi dapat mengidentifikasikan kehamilan ganda, anomaly janin, atau melokalisai kantong amnion pada amniosintesis.
2.      Amniosintesis
cairan amnion dapat dikirim ke laboratorium untuk evaluasi kematangan paru janin.
3.      Pemantauan janin
membantu dalam mengevaluasi janin.
4.      Protein C-reaktif
peningkatan protein C-reaktif serum menunjukkan peningkatan korioamnionitis.
5.      Histopatologi
cairan ditampung dalam tabung reaksi kemudian dibakar sampai tertinggal endapan tersebut dilihat dibawah mikroskop dan bila air ketuban mengalami kelainan maka akan terlihat seperti daun pakis.
6.      Kertas lakmus
bila merah menunjukkan cairan mengandung urine yang bersifat asam, bila biru menunjukkan cairan mengandung air ketuban yang bersifat basa.

7. Penatalaksanaan
a.       Penanganan umum:
Ø  Konfirmasi usia kehamilan,kalau ada dengan USG
Ø  Lakikan pemeriksaan inspekulo untuk menilai cairan yang keluar (jumlah, warna, bau) dan membedakannya dengan urin. Dengan pemeriksaan tes lakmus,bila kertas lakmus biru menunjukkan air ketuban (basa), dan bila kertas lakmus merah menunjukkan cairan urine (asam)
Ø  Jika ibu mengeluh perdarahan pada akhir kehamilan (setelah 32 minggu), jangan melakukan menit pemeriksaan dalam secara digital
Ø  Tentukan ada tidaknya infeksi
Ø  Tentukan tanda-tanda inpartus
b.      Penanganan khusus:
            Konfirmasi diagnosis:
Ø  Bau cairan ketuban yang khas
Ø  Jika keluarnya cairan ketuban sedikit-sedikit, tampung cairan yang keluar dan nilai 1 jam kemudian
Ø  Dengan speculum DTT, lakukan pemeriksaan inspekulo, nilai apakah cairan keluar melalui ostium uteri atau terkumpul di forniks posterior
                                                (Prawirohardjo, 2002)

c.       Penanganan konservatif:
Ø  Rawat di rumah sakit
Ø  Berikan antibiotic (ampisilin 4 x 500 mg atau erittromisin bila tidak tahan ampisilin) dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari
Ø  Jika umur kehamilan < 32 – 34 minggu, dirawat selama air ketuban masih keluar atau sampai air ketuban tidak keluar lagi
Ø  Jika usia kehamilan 32 -37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi,tes busa negative; beri deksametason, observasi tanda-tanda infeksi dan kkesejahteraan janin, terminasi pada kehamilan 37 minggu
Ø  Jika usia kehamilan 32 – 37 minggu, sudah inpartu,tidak ada infeksi, berikan tokolitik (salbutamol), deksametason dan induksi sesudah 24 jam
Ø  Jika usia kehamilan 32 -37minggu, ada infeksi, beri antibiotic dan lakukan induksi
Ø  Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, lekosit, tanda-tanda infeksi intra uterin). Klien dianjurkan pada posisi trendelenburg untuk menghindari prolap tali pusat.

d.      Penanganan aktif:
Ø  Kehamilan >37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal seksio sesarea. Dapat pula diberikan misoprotal 50 μg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali
Ø  Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotic dosis tinggi dan persalinan diakhiri:
a.       Bila skor pelvic < 5, lakukan pematangan serviks kemudian induksi, jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea
b.      Bila skor pelvic > 5, induksi persalinan, partus pervaginam
                                 (prawirohardjo, 2002)

8. Implikasi keperwatan/ diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan
Tujuan
Intervensi
Rasional
Resti infeksi berhubungan dengan peningkatan paparan terhadap organisme, penurunan daya tahan terhadap mikroorganisme penyebab infeksi
Mencapai penyembuhan luka tepat waktu
1.Informasikan pada klien tentang pentingnya personal hygine
2.ajarkan teknik cuci tangan yang benar
1.      Mencegah terpajan mikroorganisme infeksius

2.      Mencegah kontaminasi silang menurunkan resiko tinggi infeksi


Cemas berhubungan dengan adanya ancaman bahaya
Cemas dapat berkurang secara efektif
1.  Menggali bahwa individu cemas dan menyadari situasi yang secara potensial dapt mencetuskan cemas, seperti yang ditunjukan sarat secara fisiologis, emosional dan perilaku 
2.  Mendorong individu menggali cemas dan ekspresikan segala kecemasannya
1.      Selain cemas ekspresikan kemarahan juga adalah reaksi yang sering terhadap suatu penyakit
2.      Ekspresinya dapt berupa agresi, suatu reaksi kompleks perasaan dan perilaku dengan intensitas, durasi dan ekspresi yang berbeda
Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan aktifitas, metabolisme tubuh
1.Input dan output volume cairan seimbang
2.Berat badan bertambah
1.  Observasi dan catat masukan volume cairan
2.  Pantau berat badan setiap hari
1.   Mengawasi masukan kebutuhan cairan
2.   Mengetahui berat badan atau aktifitas intervensi

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...